Program MBG, Inovasi Ketahanan Pangan yang Menyentuh Akar Rumput

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) belakangan mencuri perhatian publik. Lebih dari sekadar inisiatif pemberian makanan gratis, MBG hadir sebagai jawaban konkret terhadap tiga persoalan mendasar bangsa: ketahanan pangan, peningkatan gizi anak, dan pemberdayaan ekonomi lokal. Inovasi ini bukan hanya soal logistik makanan, tetapi soal bagaimana intervensi negara mampu menyentuh langsung kebutuhan masyarakat di lapisan terbawah.
Dalam pelaksanaannya, MBG tidak berdiri sendiri. Program ini secara strategis menyasar titik-titik kritis yang selama ini menjadi penghambat kemajuan masyarakat desa dan kelompok rentan. Ia menyentuh ranah kesehatan dengan memberikan asupan nutrisi seimbang bagi anak-anak, terutama mereka yang berasal dari keluarga miskin ekstrem. Di saat yang sama, MBG menopang pilar pendidikan, karena anak-anak yang cukup gizi terbukti memiliki kapasitas belajar yang lebih baik. Tidak berhenti di sana, MBG juga menjadi instrumen penggerak roda ekonomi lokal, terutama di desa-desa yang selama ini terpinggirkan dari arus utama pembangunan nasional.
Salah satu pilar penting dalam keberhasilan MBG adalah kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat desa melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Dalam hal ini, Anggota DPD RI, Lia Istifhama, menegaskan pentingnya sinergi program MBG dengan BUMDes sebagai solusi cerdas membangun ketahanan pangan dari akar rumput. Dengan memberdayakan petani, peternak, dan nelayan lokal untuk memasok kebutuhan pangan program MBG, maka sirkulasi ekonomi desa menjadi hidup.
Konsep ini mendorong terwujudnya ekonomi sirkular yang nyata: bahan pangan diproduksi di desa, diolah di dapur lokal, dan dikonsumsi oleh anak-anak desa itu sendiri. Aliran nilai ekonominya pun tidak keluar dari wilayah, melainkan berputar di antara masyarakat yang terlibat langsung dalam rantai produksi dan distribusi. Dengan demikian, program MBG bukan hanya memberi makan, tapi menghidupkan desa secara menyeluruh.
MBG juga menjawab ketimpangan akses terhadap gizi dan pendidikan. Salah satu segmentasi utama program ini adalah siswa Sekolah Rakyat (SR), yaitu sekolah khusus yang diperuntukkan bagi keluarga dari kelompok miskin ekstrem berdasarkan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN). Dalam konteks ini, MBG menjadi bentuk kehadiran negara dalam menjamin hak dasar anak-anak yang selama ini berisiko mengalami malnutrisi.
Anak-anak dari keluarga tidak mampu selama ini menghadapi tantangan gizi yang berdampak langsung terhadap kemampuan belajar. Dengan hadirnya makanan bergizi secara konsisten, mereka kini memiliki energi dan daya pikir yang lebih optimal. Ini bukan hanya soal perut kenyang, tapi tentang memberikan pondasi yang layak bagi masa depan. Pendidikan tidak lagi berhenti pada fasilitas sekolah, tetapi diperluas hingga ke aspek biologis yang fundamental (gizi).
Dampak positif program ini sudah mulai terlihat di beberapa wilayah, salah satunya di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Daerah ini menjadi salah satu contoh inspiratif dalam pengelolaan MBG secara profesional. Di bawah koordinasi Gubernur Melki Laka Lena, dapur-dapur MBG dikelola oleh tenaga ahli gizi dan sumber daya lokal yang kompeten. Hasilnya, program ini tidak hanya memberi makan, tetapi juga membangkitkan harapan.
Petani lokal mendapatkan pasar tetap untuk hasil panennya, para ahli gizi berperan aktif dalam menyusun menu sehat, dan anak-anak sekolah terbebas dari kondisi belajar dalam keadaan lapar. Sinergi ini membuktikan bahwa dengan manajemen yang baik dan kolaborasi lintas sektor, MBG bisa menjadi lokomotif transformasi desa. Jika Sumba Timur yang memiliki keterbatasan infrastruktur bisa melakukannya, tidak ada alasan bagi daerah lain untuk tidak mengikuti jejak tersebut.
Lebih jauh, MBG menunjukkan bahwa kebijakan publik yang sederhana dapat berdampak besar bila dijalankan dengan semangat kolaboratif dan pendekatan berbasis lokal. Program ini tidak seharusnya berhenti sebagai proyek jangka pendek atau sekadar janji kampanye. Program ini harus diinstitusionalisasikan sebagai gerakan nasional yang berkelanjutan.
Dengan memperkuat produksi pangan lokal, MBG juga secara tidak langsung menekan ketergantungan pada impor pangan. Ketika masyarakat mulai mengonsumsi produk-produk lokal berkualitas, Indonesia secara perlahan membangun kemandirian pangannya sendiri. Ini bukan hanya relevan dari sisi ekonomi, tetapi juga dari segi kedaulatan negara.
Ketahanan pangan sejatinya tidak ditentukan oleh seberapa besar anggaran negara, tetapi seberapa besar keberpihakan kebijakan terhadap rakyat kecil. MBG membuktikan bahwa keberpihakan itu bisa diwujudkan secara konkret, terukur, dan berdampak luas.
Ke depan, konsistensi dalam pelaksanaan, pengawasan, dan pelibatan komunitas lokal akan menjadi kunci keberhasilan program ini. MBG bukan sekadar memberi makan, tapi memberi ruang hidup yang lebih adil bagi seluruh anak negeri. Dan dari dapur-dapur kecil di desa-desa terpencil, masa depan Indonesia yang lebih sehat dan mandiri sedang dimasak perlahan.